Sekilas Biografi Ibnu Rusyd


Sekilas Biografi Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd, nama lengkapnya Abû al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, lahir di Cordoba pada 520 H./1126 M. dan wafat di Maroko pada 1198 M. Di Barat ia dikenal dengan nama Averoes. Dia adalah seorang dokter, ahli hukum, dan tokoh filsuf yang paling popular pada periode perkembangan filsafat Islam (700-1200). Di samping sebagai seorang yang paling otoritatif dalam fungsi sebagai komentator atas karya-karya filsuf Yunani Aristoteles, Ibnu Rusyd juga seorang filsuf muslim yang paling menonjol dalam usahanya mencari persesuaian antara filsafat dan syariat (al-ittishâl bain al-hikmah wa al-syarî`âh). Dia berasal dari lingkungan keluarga yang besar sekali perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia sendiri pernah menduduki beberapa jabatan, antara lain sebagai qâdlî (hakim) di Sivilla dan sebagai qadlî al-qudlât (hakim agung) di Cordoba. Di samping itu, ia juga sangat aktif dalam kegiatan politik dan sosial. Sejak kecil ia telah mempelajari al-Qur’an, lalu mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fikih, dan sastra Arab. Kemudian ia mendalami ilmu matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu kedokteran. Oleh karena itu, wajar jika ia dikenal sebagai ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kebesaran dan kejeniusan Ibnu Rusyd tampak pada karya-karyanya. Dalam berbagai karyanya ia selalu membagi pembahasannya ke dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik, dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung. Ulasannya terhadap karya-karya filusuf besar terdahulu banyak sekali, antara lain ulasannya terhadap karya-karya Aristoteles. Dalam ulasannya itu ia tidak semata-mata memberi komentar (anotasi) terhadap filsafat Aristoteles, tetapi juga menambahkan pandangan-pandangan filosofisnya sendiri, suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh filsuf semasa maupun sebelumnya. Kritik dan komentarnya itulah yang mengantarkannya menjadi terkenal di Eropa. Ulasan-ulasannya terhadap filsafat Aristoteles berpengaruh besar pada kalangan ilmuwan Eropa sehingga muncul di sana suatu aliran yang dinisbatkan kepada namanya, Avereroisme. Selain itu, ia juga banyak mengomentari karya-karya filsuf muslim pendahulunya, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, dan al-Ghazali. Komentar-komentarnya itu banyak diterjemahkan orang ke dalam bahasa Latin dan Ibrani.Karya-Karya Monumental Ibnu RusydIbn Rushd menulis banyak buku yang meonumental. Ia meninggalkan tak kurang dari 50 judul buku dari berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, politik, fikih, dan masalah-masalah agama. Namun, sejauh menyangkut peran Ibn Rusyd sebagai model pencerahan yang bisa diambil sebagai spirit perumusan dan pengembangan fikih emansipatoris, adalah tiga bukunya Fashl al-Maqâl, al-Kashf `an Manâhij al-Adillah dan Tahâfut al-Tahâfut (ditulis berturut-turut pada 1178, 1179, dan 1180) merupakan karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibn Rushd yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.1.Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî`ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (terjemahan dalam bahasa Indonesia terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, dengan judul Kaitan Filsafat dengan Syariat) yang isinya menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan.

2.Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî `Aqâid al-Millah (Menyingkap pelbagai Matode Argumentasi Ideologi Agama-agama) yang menjelasakan secara terinci masalah-masalah akidah yang dibahas oleh para filsuf dan teolog Islam.

3.Tahâfut al-Tahâfut (Kerancauan dalam Kitab Kerancauan karya al-Ghazâlî) yang kandungan isinya membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kerancauan –Filsafat-filsafat– kaum Filosof).

4.Buku lainnya yang juga penting dalam bidang hukum Islam/fiqh, adalah Bidâyah al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid). Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam mazhab.

Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syari’ahSalah satu pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama”. Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada “pengetahuan yang lebih sempurna” (at-tâmm al-ma`rifah).

Mengenai hal ini dituangkan dalam buku kecilnya yang berjudul Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (Kaitan filsafat dengan Syariat) ini menjelaskan tentang harmonitas antara `aql (akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode (manhaj) dan tujuan akhir (ghâyah) (Fasl al-Maqal, 1968: 58).

Menurutnya , belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat. Untuk menghindari adaya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat dan teks al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Qur’an itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwîl. Takwîl ini lah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini. Yang satunya lagi mengenai masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing).

Apa itu takwîl? Takwîl menurut Ibn Rusyd adalah makna yang dimunculkan dari pengetahuan suatu lafal yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riil) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat majaz (metafor) ( Fash al-Maqâl…..: 32). Takwîl yang dimaksudkan Ibn Rusyd adalah pengambilan makna esoterik atau makna substansial yang dikandung oleh teks (lafal), jadi bukan mengambil makna eksoterik atau makna tekstual lafal tersebut.

Dalam hal ini, yang perlu digarisbawahi adalah perkataan Ibn Rusyd, bahwa, “…Capaian apapun yang dihasilkan oleh metode burhan tapi bertentangan dengan makna lahir teks-teks syariat, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan menurut aturan main pentakwilan bahasa Arab yang ada.” Juga pernyataannya, bahwa “…makna lahir apapun juga yang terdapat pada teks syari’at yang secara lahiriah bertentangan dengan susatu makna yang disimpulkan oleh metode burhan kemudian makna lahir syari’at itu diteliti dan ditelaah semua bagian dan partikelnya, pada teks-teks syari’at itu sendiri akan dapat ditemukan kesimpulan-kesimpulan yang secara lahiriah mendukung adanya proses pentakwilan semacam itu, atau minimal tidak menolak.” Lanjut, Ibnu Rusyd, karena kenyataan inilah –kaum muslimin berijma’—bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk memahami lafal-lafal syari’at kepada makna lahiriah-lahiriah seluruhnya, atau mencerabut semua lafal dari makna tekstualnya. ( Fash al-Maqâl…..: 33)

Apa yang menyebabkan syari’at itu sendiri mengandung makna lahir (esoterik) dan batin (eksoterik)? Menurut Ibn Rusyd hal itu disebabkan adanya keanekaragaman (pluralitas) kepasitas penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka dalam menerima (pembuktian) kebenaran. Sedangkan mengapa syari’at sendiri membawa makna-makna tekstualnya yang tampaknya saling bertentangan itu? Hal itu menurutnya karena dimaksudkan untuk menarik perhatian kaum cerdik pandai yang mendalam ilmunya (al-râsyikhûna fî al-`ilm) agar melakukan pentakwilan yang menggabungkan makna-makna tekstual yang tampaknya bertentangan itu.

Lebih lanjut, mengapa disiplin ilmu-ilmu agama, seperti disiplin syari’ah lebih layak untuk dipatuhi prinsip-prinsipnya? Persoalannya lebih karena disiplin tersebut ditujukan untuk mencapai keutamaan-keutamaan dari suatu amal perbuatan, yakni amalan yang baik dan etis, khususnya amalan ibadah. Maka, sisi rasionalitas dari perintah-perintah agama beserta larangan-larangnnya dibangun atas landasan moral keutamaan atau al-fâdlilah.

Prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh bentuk penafsiran semacam takwil di atas tentu adalah “maqâshid al-syâri” (tujuan atau alasan-alasan mendasar pembuat syariat). Prinsip dasar dalam disiplin agama ini serupa dengan yang berlaku dalam disiplin filsafat, yaitu prinsip “kausalitas”. Dan prinsip “maqâshid al-syâri” tergolong dalam aktegori “al-sabab al-qhâ’î” (sebab akhir, final cause) dalam ungkapan falasifah.

Jadi, kalau dimensi rasionalitas disiplin ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu metafisika dibangun atas dasar prinsip kausalitas. Maka demikian pula halnya dengan dimensi rasionalitas dalam agama, yakni dibangun atas dasar prinsip “maqâshid al-syâri”. Oleh karena itu, membangun rumusan penalaran dalam agama, termasuk formulasi rasionalismenya, harus berdasar pada “prinsip-prinsip doktrinal”, yang secara gambalng dengan tujuan dan maksud-maksud tertentu, ditujukan oleh pembuat syari’at (Allah dan rasul-Nya) kepada kalangan masyarakat awam.

Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa proyek yang diangkat Ibn Rusyd, khususnya mengenai hubungan antara agama dan filsafat, menawarkan satu pandangan baru yang sama sekali orisinil dan rasional. Dalam arti mampu menangkap dimensi rasionalitas baik dalam agama maupun dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan dan keajekan alam ini, dan juga pada landasan prinsip kausalitas. Sementara itu, rasionalitas agama juga dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang diberikan sang Pembuat Syari’at, dan yang pada akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-nilai kebajikan atau al-fâdlilah. Menurut Muhammad Abid al-Jâbirî bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan “maqâshid al-syâri” dalam disiplin ilmu-ilmu agama sebanding dengan gagasan “hukum-hukum kausalitas di alam ini” (Abid al-Jabiri, 2000: 165-166). Prinsip semacam inilah yang kemudian dirujuk oleh al-Syâthibî dalam rasionalisme agama, dan Ibn Khaldûn dalam rasionalisme sejarah.

Kemudian berkenaan dengan kemampuan manusia menanggapi syari’at yang ada dalam kandungan al-Qur’an, Ibn Rusyd membaginya ke dalam tiga kelompok, yaitu awam, pendebat, dan ahli pikr. (Lih. h. 58). Pada kelompok pertama diterapkan metode pembuktian khathâbî ( retorika), pada yang kedua dengan jadalî (dialektik) dan pada kelompok yang ketiga dengan metode burhani (demonstratif). Menurutnya, kepada golongan awam, al-Qur’an tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis, sedangkan kepada golongan pendebat juga sulit untuk disampaikan takwil. Oleh karena itu, takwil harus ditulis hanya dalam buku-buku yang khusus diperuntukkan bagi golongan ahli pikir, agar orang yang bukan ahlinya tidak dapat memahaminya. Ia juga menyetujui pendapat bahwa al-Qur’an mempunyai makna esoterik (bâthin) di samping makna eksoterik (zhâhir) yang umum diketahui. Sebab dalam kenyataannya memang manusia memiliki naluri dan kemampuan yang berbeda-beda. Makna batin hanya dapat diselami oleh ahli pikir dan filsuf, dan tidak dapat dicerna oleh kaum awam (Lih. hlm. 58- dst.).

Dalam karyanya, Fash al-Maqâl tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan tambahan penjelasan seputar tiga isu sentral yang menjadi ajang konflik antara para filsuf dengan teolog, atau secara pas, buku ini dijadikan sebagai tambahan jawaban atas karya al-Ghazali yang menyerang dengan mengkafirkan para filsuf terhadap tiga isu sentral ini.

(1). Karena mereka menolak kebangkitan jasmani; (2) menolak pengetahuan partikular (juz’iyyât) Tuhan; dan (3) mereka mengklaim bahwa Tuhan lebih dahulu, secara ontologis dan bukan secara kronologis, bukan objek pengetahuan demonstratif. Dalam pandangan Arkoun, para filsuf salah ketika mencoba memperlakukannya sebagai masalah-masalah pengetahuan yang demonstratif, yang sebenarnya bergantung pada kepercayaan. Sementara Ibnu Rusyd menggunakan metodologi ushûl al-fiqh untuk memecahkan persoalan filosofis; bahkan formulasi persoalannya pun pada permulaan fashl, secara khas bersifat yuridis. Ini tak berarti al-Ghazali telah memilih cara yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut.

Signifikansi Rasionalitas Ibn Rusyd bagi Fiqh Emansipatoris

Mengenai pandangan Ibn Rusyd tentang pembagian manusia ke dalam 3 kelompok, di mana bagi kalangan awam, tidak tepat diajarkan takwil karena mereka tidak akan mampu memahaminya, hanya mampu sebatas tau apa yang tertulis saja. Menurut penulis, pandangan Ibn Rusyd di atas, dimaksudkan agar suatu penyampaian berita/informasi berupa pemikiran, akan sampai tepat sasaran, tidak menimbulkan kerisauan dan malah membingungkan. Inilah signivikansi maksud pengelompokan tersebut.

Pengelompokan ke dalam 3 kalangan di atas, merupakan jalan keluar yang “difatwakan” Ibn Rusyd yang sebetulnya harus dipahami dalam konteks perseteruan antara filsafat dengan dogma agama saat itu. Itulah perang dialektik antara filsafat dan agama –dalam hal ini lebih diwakili oleh fiqih.

Pandangan bahwa level interpretasi terhadap ajaran agama sesuai dengan level intelektual masyarakat menunjukkan ketajaman visi psikologis Ibn Rusyd. Meski ini ditolak oleh kalangan teolog dengan menuduhnya sebagai orang yang sombong. Kebenaran ganda (doble-faced truth), satu untuk kaum ortodok dan satu lagi untuk kaum filsuf, adalah suatu pandangan yang tidak fair. Tetapi apa pun adanya, Ibn Rusyd tidak pernah meragukan kebenaran agamanya. Rosenthal menyatakan, “Ibn Rusyd was a Muslim first and a disciple of Plato. Aristoteles and their commentator second.” (Dikutip dari Ahmad Zainul Hamdi: 2004: 215). Dia hanya ingin mengatakan secara jujur pandangannya bahwa kebenaran yang sama dapat direpresentasikan dalam bentuk yang beragam.

Kedalaman visi dan filsafatnya membuatnya mampu menyatukan berbagai doktrin yang terlihat bertentangan dengan cara yang lentur. Interpretasi yang sempit terhadap teori doble-faced truth/twofold truth (kebenaran ganda) secara terang-terangan ditolaknya. Dan teori yang seringkali diatribusikan pada Ibn Rusyd ini sebenarnya tidak semata-mata miliknya, tetapi hampir menjadi prinsip kebenaran para filsuf muslim, atau bahkan setiap muslim terpelajar, dalam arti yang sama dengan statemen, “Berbicaralah pada manusia sesuai dengan tingkat pemahamannya” (kallimû al-nâs bi qadri `uqûlihim).

Jadi menurut penulis bukan berarti takwîl tidak boleh disampaian atau diajarkan kepada orang awam. Menurut penulis bahwa apakah dalam konteks kekinian, masalah mengajarkan atau menyampaikan persoalan takwil kepada orang awam bisa dilakukan dan dibenarkan dipandang dari sudut pembelajaran dan pencerahan? Menurut saya, hal itu bisa dilakukan. Sebab manusia punya eksistensi, yang bisa mengalami kondisi menjadi ke yang lainnya (berubah sifat keawamannya) jika terus-menerus ada perlakuan kondisi berproses ke arah menjadi itu. Jadi dalam konteks mensosialisasikan fiqh emansipatoris atau katakanlah fikih transformatif, persoalan takwil seperti di atas bisa disampaikan kepada mereka dalam rangka melakukan perubahan dari proses keberadaan kaum awam menuju proses perubahan ke arah pencerahan (meminjam bahasa Muhammad Syahrûr, dari kondisi al-kainûnah [berada], keberadaan kaum awam, kepada kondisi menjadi [al-shairûrah] melalui suatu kondisi al-sairûrah [berproses intensif]).

Dan yang perlu diingat adalah bahwa yang dinamakan pencerahan seperti yang dikatakan oleh Immanuel Khant, tokoh penting pencerahan itu, yaitu: keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir, tetapi karena kurangnya determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri. Moto pencerahan, dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah menggunakan pemahaman sendiri! (Kant, What is Enlightenment?, 1990, dikutip dari Kompas, 2 Maret 2005).

Dari definisi ini kita melihat bahwa Kant menganggap pencerahan bukan semata-mata kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan berpikir dan bertindak, tetapi yang terpenting adalah bahwa pencerahan itu berarti kematangan berpikir dan sanggup melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Yang dimaksud “bantuan orang lain” di sini adalah penggunaan otoritas luar secara berlebihan sehingga menghalangi seseorang berpikir independen. Inti pencerahan bukanlah pemikiran itu sendiri, tetapi bagaimana seseorang berani menggunakan akal-pikirannya (sapere aude!).

Dan di sinilah urgensi pembelajaran atau pelatihan, salah satu program Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) dalam mengarahkan peserta didik pelatihan ini ke arah pencerahan. Pelatihan dan pembelajaran yang dilakukan JIE merupakan satu usaha (bantuan), namun sekadar sebuah proses belaka, bukan bantuan abadi. Sebab bagaimana seseorang bisa begitu saja mencapai derajat “tercerahkan” menurut Kant, jika tidak melalui proses (al-sairûrah) pembelajaran dan pelatihan intensif.

Menurut penulis, filsafat yang dikembangkan Ibn Rusyd bisa mengantarkan kepada sikap kritis ke arah pencerahan, menuju dan menjadi basis perumusan dan pengembangan fiqh emansipatoris. Mengapa? Dan Bagaimana prosedur, atau mekanismenya? Karena dimensi rasionalitasnya, melalui metode burhânî bisa untuk menelorkan sebuah produk hukum, dengan menempatkan nilai-nilai substantif dan tujuan syarî’ (maqâshid al-syâri`ah). Membaca teks tidak sekadar dengan pembacaan simbolik atau arti leterleknya saja (yang ini bisa dikatakan al-lâ qirâ’ah, tidak membaca kritis), namun dengan pembacaan dan penggalian makna terdalamnya. Ini jelas bermanfaat bagi penggalian nilai-nilai yang menggerakkan sikap progresifitas dan emansipatif/emansipatoris bagi kesetaraan sosial. Sebab makna simbolik terbatas dalam konteks tertentu, diselimuti oleh ruang dan waktu yang menjadikan makna lafalnya terbatas dan seringkali dianggap tidak relevan lagi diterapkan dalam konteks kekinian.

Dan caranya adalah dengan menerapan takwîl sebagai sebuah pola pemaknaan susbtantif pada teks-teks yang simbolik, secara kritis dengan menekankan pada makna esoterik nilai-nilai universal kemanusiaan; kemaslahatan (al-mashlahah), kesetaraan (al-musâwah), keadilan (al-`adâlah), dan keadaban. Selain berawal dari teks sangat perlu melihat realitas dan dikaji secara mendalam dengan mengambil atau memetik spirit, nilai-nilai dan pesan-pesan moral keagamaan yang universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan di atas. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan teks-teks dengan takwilan itu atau pengkajian dengan memetik spirit kemanusiaan (antroposentris) itu sebagai sudut pandang/perspektif paradigmatik dan metodologis dan berlajut pada tindakan praksis.

Referensi dinukil dari berbagai sumber antara lain:

1.Abû al-Walîd Ibn Rusyd, Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, Dâr al-Ma`ârif bi Mishr, 1972.

2.Ensiklopedi Islam, Jilid 2, PT Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, cetakan 1994.

3.Hassan Hanafi, Islamologi 1: dari Teologi Statis ke Anarkis, cet. 1, Yogyakarta, LKiS, 2003.

4.Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum, E Kusmadiningrat (peny.), cet. 2, Jakarta, Paramadina, 2003.

5.Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, dikumpulkan dan dialihbahasakan oleh Ahmad Baso, Yogyakarta, LKiS, 2000.

6.Kompas, “Sapere Aude!” Ibn Rushd, Kant, dan Proyek Pencerahan Islam, rubrik Bentara: Rabu, 02 Maret 2005.

7.Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, 2004.

Ditulis Oleh Achmad ‘Aly MD, Alumnus IKAHA Tebuireng Jombang-Jawa Timur; Staf peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=303

Dikutip dari : http://gazali.wordpress.com/2008/01/04/ibn-rusydsignifikansi-rasionalitas-bagi-perumusan-dan-pengembangan-fikih-emansipatoris/

Satu pemikiran pada “Sekilas Biografi Ibnu Rusyd

  1. NUMPANG INFO YA BOS… bila tidak berkenan silakan dihapus:-)

    LOWONGAN KERJA GAJI RP 3 JUTA HINGGA 15 JUTA PER MINGGU

    1. Perusahaan ODAP (Online Based Data Assignment Program)
    2. Membutuhkan 200 Karyawan Untuk Semua Golongan Individu (SMU, Kuliah, Sarjana, karyawan dll yang memilki koneksi internet. Dapat dikerjakan dirumah, disekolah, atau dikantor.
    3. Dengan penawaran GAJI POKOK 2 JUTA/Bulan Dan Potensi penghasilan hingga Rp3 Juta sampai Rp15 Juta/Minggu.
    4. Jenis Pekerjaan ENTRY DATA(memasukkan data) per data Rp10rb rupiah, bila anda sanggup mengentry hingga 50 data perhari berarti nilai GAJI anda Rp10rbx50=Rp500rb/HARI, bila dalam 1bulan=Rp500rbx30hari=Rp15Juta/bulan
    5. Kami berikan langsung 200ribu didepan untuk menambah semangat kerja anda
    6. Kirim nama lengkap anda & alamat Email anda MELALUI WEBSITE Kami, info dan petunjuk kerja selengkapnya kami kirim via Email >> http://lowonganterbaik2011.blogspot.com/

Tinggalkan komentar